KETIKA ANAK JADI REBUTAN!
BY
OLDE LAW FIRM
12/15/2025


Halo sobat hukum, dan selamat datang kembali di corner of law yang paling jujur (dan sedikit receh) ini!
Kita semua tahu, pernikahan itu ibarat rollercoaster: penuh tawa, cinta, dan mungkin beberapa kali teriakan panik. Tapi, ada kalanya rollercoaster itu harus berhenti—di pengadilan agama atau sipil—untuk mengurus perceraian. Dan di tengah hiruk pikuk pembagian harta gono-gini (yang seringkali lebih dramatis dari sinetron), ada satu hal yang jauh lebih krusial, sensitif, dan seringkali menguras emosi hingga ke akar-akarnya: Hak Asuh Anak, atau yang dalam bahasa kerennya disebut Hadhanah.
Topik ini bukan main-main. Ini adalah tentang masa depan si kecil. Jadi, mari kita bedah tuntas, dari dasar hukum, siapa yang paling berhak, hingga ancaman pidana bagi yang coba-coba 'menculik' buah hati. Siapkan kopi Anda, karena pembahasan ini akan sedikit panjang dan serius, meski tetap akan saya selingi jokes ala bapak-bapak untuk mencairkan suasana.
Di Indonesia, masalah perceraian dan hak asuh anak diatur oleh dua payung hukum utama, tergantung pada agama para pihak, namun intinya sama: kepentingan terbaik anak adalah yang paling utama.
1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan)
Pasal 41 huruf (a) UU Perkawinan dengan tegas menyatakan:
"Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya."
Poin Penting: Kedua orang tua TETAP bertanggung jawab. Tidak ada kata "mantan ayah" atau "mantan ibu". Tanggung jawab itu melekat seumur hidup. Pengadilan hadir bukan untuk 'menghukum' salah satu pihak, tapi untuk menentukan siapa yang saat ini paling ideal untuk memegang kendali harian.
2. Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Bagi yang beragama Islam, KHI Pasal 105 dan 156 menjadi landasan yang sangat penting. Secara ringkas, KHI memberikan Prioritas Utama kepada ibu, terutama untuk anak yang belum mencapai usia mumayyiz (dapat membedakan mana yang baik dan buruk).
Hak Asuh Anak, mayoritas akan jatuh ke tangan Ibu: Mitos atau Fakta Hukum?
Ini adalah bagian yang paling sering disalah pahami. Banyak yang mengira, begitu cerai, hak asuh pasti jatuh ke tangan ibu, seolah-olah ini adalah hadiah doorprize hiburan.
Faktanya, ini adalah fakta hukum, namun dengan pengecualian!
Anak di Bawah 12 Tahun (Usia Belum Mumayyiz): Mayoritas putusan pengadilan, khususnya di lingkungan Peradilan Agama, akan memberikan hak asuh kepada Ibu kandung.
Alasannya? Hukum berasumsi bahwa kasih sayang dan kebutuhan dasar anak, terutama yang masih sangat kecil, paling baik dipenuhi oleh ibu. Ibu dianggap sebagai orang yang paling telaten, dari mulai urusan popok sampai request lagu anak-anak.
Pengecualian: Jika terbukti bahwa sang Ibu tidak pantas atau tidak layak mengasuh. Misalnya, jika ia memiliki riwayat kekerasan, kecanduan narkoba, hidup tidak bermoral (sering gonta-ganti pasangan), atau menelantarkan anak. Jika kondisi ini terbukti, "tiket emas" ibu bisa dicabut, dan hak asuh beralih ke ayah atau bahkan pihak ketiga (kakek/nenek).
Anak di Atas 12 Tahun (Usia Mumayyiz): Pada usia ini, anak dianggap sudah cukup mampu untuk memilih tinggal dengan Ayah atau Ibu.
Peran Hakim: Hakim akan memanggil anak tersebut dan mendengarkan pilihannya. Jadi, ladies and gentlemen, pada titik ini, anak Anda sendirilah yang memegang "hak veto". Orang tua hanya bisa pasrah.
Tips untuk Orang Tua: Daripada saling sikut di pengadilan, fokuslah menjadi orang tua terbaik yang bisa menjadi tempat paling aman dan nyaman bagi si anak. Anak akan memilih berdasarkan kenyamanan, bukan berdasarkan jumlah uang saku yang diberikan (walau yang terakhir ini sering jadi faktor penentu juga, canda).
Meskipun hak asuh (secara fisik) jatuh ke tangan Ibu, Ayah tidak lantas bebas dari kewajiban finansial!
Kewajiban Mutlak: Kewajiban memberikan nafkah (biaya pendidikan, kesehatan, sandang, pangan) adalah kewajiban mutlak Ayah. Ini sering disebut Nafkah Madhiyah (nafkah masa lalu/tunggakan) dan Nafkah Iddah (nafkah selama masa tunggu) jika di Peradilan Agama.
Ancaman Harta: Bahkan, dalam putusan perceraian seringkali harta bersama (gono-gini) dipertimbangkan untuk dijadikan jaminan pemenuhan nafkah anak di masa depan. Ayah yang mangkir dari kewajiban ini bisa terancam kehilangan sebagian asetnya.
Ini adalah bagian paling serius. Dalam situasi emosi yang membuncah pasca-putusan hak asuh, ada saja orang tua yang gelap mata dan mencoba mengambil anak secara paksa (istilah populernya: self-help).
Ingat baik-baik: Setelah putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap (inkracht), hak asuh secara hukum resmi berada di tangan pihak yang ditunjuk (misalnya: Ibu). Jika Ayah (pihak yang kalah) nekat mengambil, menyembunyikan, atau membawa lari anak tanpa izin dari pemegang hak asuh yang sah, ia bisa dijerat dengan:
Pasal 330 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
"Barang siapa dengan sengaja menarik seorang yang belum dewasa dari kekuasaan yang menurut undang-undang menjalankan kekuasaan atasnya, atau dari pengawasan orang yang berwenang untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun."
Interpretasi Hukum:
Siapa yang menarik? Ayah, Ibu, Kakek, Nenek, atau siapapun yang tidak memiliki hak asuh resmi.
Kekuasaan menurut undang-undang? Adalah hak asuh yang ditetapkan oleh Pengadilan.
Meskipun terdengar ironis—memenjarakan orang tua karena membawa anak sendiri—inilah konsekuensi hukum dari mengambil paksa anak yang sudah secara sah berada di bawah kekuasaan hukum pihak lain. Proses penarikan paksa ini menimbulkan trauma pada anak dan melanggar perintah pengadilan. Jangan sampai cinta Anda pada anak membuat Anda berakhir di balik jeruji besi. Itu bukan ending yang baik untuk siapapun.
Meskipun salah satu pihak kalah dalam hak asuh, ia tidak kehilangan Hak Berhubungan dengan anaknya.
Pengadilan umumnya akan menetapkan hak akses kunjungan (hak visitation) yang wajar dan teratur.
Pihak pemegang hak asuh tidak boleh menghalang-halangi kunjungan ini, kecuali ada alasan yang sangat kuat (misalnya, kunjungan itu membahayakan anak). Menghalangi hak kunjungan ini justru bisa menjadi alasan bagi pihak yang kalah untuk mengajukan gugatan balik atau permohonan agar hak asuh dialihkan.
Hubungan emosional antara anak dan orang tua non-pemegang hak asuh harus tetap dijaga. Ini bukan perlombaan, ini adalah kerjasama pasca-pernikahan demi masa depan anak.
Hak asuh anak adalah wilayah hukum yang sangat kompleks dan emosional. Keputusan yang diambil akan menentukan nasib psikologis dan masa depan anak. Berjuang sendirian di tengah badai emosi dan terminologi hukum yang rumit adalah resep pasti untuk stress berat.
Menyusun gugatan yang kuat, menghadirkan bukti yang sah (misalnya: bukti ketidaklayakan pasangan), dan memastikan draft putusan mencantumkan secara rinci kewajiban nafkah dan hak kunjungan adalah hal yang membutuhkan keahlian profesional. Anda tidak sedang membeli gorengan, Anda sedang menentukan masa depan buah hati Anda.
Jika Anda merasa tersudutkan, tidak tahu harus mulai dari mana, dan membutuhkan strategi hukum yang tajam dan empatik, mencari bantuan profesional adalah langkah yang bijaksana.
Jangan mengambil risiko dengan masa depan anak Anda. Segera konsultasikan masalah hak asuh Anda dengan OLDE LAW FIRM. Tim profesional kami tidak hanya memahami hukum secara kaku, tetapi juga mengutamakan kepentingan terbaik anak dengan strategi yang terukur dan pendekatan yang manusiawi. Hubungi OLDE LAW FIRM, dan biarkan mereka yang memegang kemudi hukum Anda, sementara Anda fokus menjadi orang tua yang terbaik.
LAYANAN
Kantor hukum terbaik di Jawa Timur.
hubungi kami melalui
Konsultasi
+62-813-5309-0049
© 2025. All rights reserved.
