LABIRIN SENGKETA TANAH "CESSIE": KETIKA UTANG PIUTANG BERTEMU SERTIFIKAT

BY

OLDE LAW FIRM

10/27/2025

Selamat pagi, pembaca setia sobat hukum! Kali ini, kita akan menyelami drama legal yang sering terjadi, yaitu Sengketa Tanah Cessie.

Jangan khawatir, ini bukan tentang mantra atau ritual kuno. Ini tentang transaksi perdata yang bisa jadi bumerang jika tidak diurus dengan benar. Siap-siap, karena di dunia hukum, terkadang hal yang paling sederhana justru jadi pemicu konflik paling ribet.

Sebelum masuk ke inti masalah, mari kita kenali dulu para aktor yang sering bermain dalam panggung sengketa ini:

Apa Sih Itu Sengketa Tanah?

Secara sederhana, Sengketa Tanah adalah perselisihan atau konflik yang melibatkan subjek hukum (orang atau badan hukum) dengan objek hak atas tanah (sertifikat, batas, penguasaan). Ini bisa berupa klaim kepemilikan ganda, hingga yang lebih kompleks seperti gugatan terhadap keputusan Badan Pertanahan Nasional (BPN). Intinya, ketika ada lebih dari satu pihak yang merasa paling berhak atas sebidang tanah, maka drama pun dimulai.

Mengenal Si "Cessie" yang Kerap Membuat Kepala Pusing

Cessie adalah mekanisme hukum berupa:

Pengalihan atau penyerahan hak tagih (piutang) atas nama dari kreditur lama (disebut cedent) kepada kreditur baru (disebut cessionaris) melalui akta.

Bayangkan begini: Bank (kreditur lama) punya utang macet yang dijamin dengan sertifikat tanah debitur. Agar Bank tak perlu repot menagih dan mengeksekusi sendiri, Bank menjual hak tagih utang tersebut kepada perusahaan lain (cessionaris). Cessie adalah akta perjanjian jual beli hak tagih tersebut.

Lalu, di mana letak tanahnya? Tanah itu adalah jaminan utang yang melekat pada piutang. Ketika piutang berpindah, hak untuk menuntut jaminan itu pun otomatis ikut pindah.

Kita tidak bisa bicara Cessie tanpa bersujud pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata). Inilah payung utama yang menaungi drama pengalihan hak tagih.

1. Pasal Sakti 613 KUH Perdata: Syarat Sahnya "Berlaku"

Pasal 613 KUH Perdata adalah pasal wajib hafal bagi siapa pun yang berurusan dengan Cessie. Pasal ini mengatur dua hal krusial:

  • Ayat (1) - Syarat Formal Cessie: Penyerahan piutang atas nama harus dilakukan dengan membuat akta otentik (dibuat Notaris) atau akta di bawah tangan. Artinya, Cessie harus tertulis. Akta inilah 'tiket' awal bagi kreditur baru untuk mengklaim hak tagih.

  • Ayat (2) - Syarat "Mengikat" Debitur: Nah, di sinilah letak bom waktu hukumnya! Cessie tidak ada akibatnya bagi si berutang (debitur), kecuali penyerahan itu telah diberitahukan kepadanya atau secara tertulis disetujui dan diakuinya.

Jurnalis Mencatat: Seringkali, sengketa Cessie terjadi karena kreditur baru buru-buru menagih atau mengeksekusi jaminan, padahal proses pemberitahuan Cessie kepada debitur tidak dilakukan secara patut (misalnya: hanya ditempel di papan pengumuman, atau surat pemberitahuan tidak sampai ke tangan debitur). Tanpa pemberitahuan yang sah, cessie dianggap tidak berlaku terhadap debitur, dan ia berhak melawan di pengadilan.

2. UU Hak Tanggungan (UUHT): Ketika Jaminan Tanah Ikut Beralih

Jika KUH Perdata mengatur tentang piutangnya, maka Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan (UUHT) mengatur tentang jaminannya.

Pasal 16 UUHT memberikan kepastian hukum bahwa:

“Jika piutang yang dijamin dengan Hak Tanggungan beralih karena cessie, subrogasi, pewarisan, atau sebab-sebab lain, Hak Tanggungan tersebut ikut beralih karena hukum kepada kreditur baru.”

Ini menegaskan bahwa Hak Tanggungan atas tanah adalah hak accesoir (mengikuti) piutang pokok. Begitu piutang berpindah, hak atas tanah sebagai jaminan pun ikut pindah. Secara substansi, kreditur baru sudah menjadi pemegang Hak Tanggungan yang sah.

Masalah Administrasi: Meskipun substansinya beralih, BPN tidak serta merta mau membalik nama sertifikat hanya berdasarkan akta Cessie. Kreditur baru tetap harus mendaftarkan peralihan Hak Tanggungan ini. Jika debitur tidak kooperatif, cessionaris sering terpaksa mengajukan permohonan penetapan pengadilan (Pasal 621 KUH Perdata) untuk memperkuat kedudukan hukumnya di mata BPN.

3. Asas Nemo Plus Juris: Anda Tidak Bisa Menjual yang Bukan Milik Anda

Dalam setiap transaksi pengalihan hak, termasuk Cessie, berlaku asas fundamental Asas Nemo Plus Iuris Transfere Potest Quam Ipse Habet.

  • Apa artinya? Sederhananya: Tidak seorang pun dapat menyerahkan atau mengalihkan hak lebih dari yang ia miliki.

Implikasinya:

  1. Jika piutang kreditur lama ternyata cacat (misalnya, perjanjian kreditnya batal, atau utangnya sudah lunas sebagian), maka cessionaris (pembeli piutang) hanya menerima piutang yang cacat itu saja. Ia tidak bisa mendapatkan hak yang lebih baik daripada yang dimiliki penjual (cedent).

  2. Asas ini memberikan perlindungan kepada debitur agar hak-hak perlawanannya tidak hilang hanya karena utangnya dialihkan.

Mengapa Sengketa Cessie Tanah Itu Melelahkan? Ini karena Sengketa Cessie Tanah bukan sekadar kasus perebutan sertifikat biasa; ini adalah level kompleksitas hukum tingkat tinggi yang menguras waktu, biaya, dan energi. Mengapa melelahkan? Karena Anda harus bertarung di banyak lini hukum sekaligus.

1. Pertarungan Tiga Pihak (atau Lebih) di Pengadilan

Dalam gugatan sengketa tanah biasa, mungkin hanya ada Penggugat melawan Tergugat. Dalam kasus Cessie, Anda hampir pasti akan berhadapan dengan minimal tiga pihak sebagai tergugat:

  • Si Debitur: Pihak yang menguasai fisik tanah dan merasa masih berhak karena klaim utangnya sudah lunas atau Cessie tidak sah.

  • Si Kreditur Baru (Cessionaris): Pihak yang memegang Akta Cessie dan sertifikat (dalam bentuk Hak Tanggungan) yang ingin melakukan eksekusi.

  • Si Kreditur Lama (Cedent)/Bank: Pihak yang menjual piutang dan seringkali diwajibkan hadir untuk membuktikan keabsahan Cessie, terutama terkait riwayat utang debitur.

  • Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan/atau Notaris/PPAT: Seringkali diikutkan sebagai Turut Tergugat karena merekalah pihak yang berwenang memproses balik nama dan pendaftaran Hak Tanggungan.

Memanggil, membuktikan, dan mencocokkan fakta dari empat hingga lima pihak yang berkepentingan berbeda tentu memerlukan energi ekstra di ruang sidang.

2. Tumpang Tindih Hukum Perdata dan Hukum Tanah

Sengketa ini memaksa hakim untuk merangkai puzzle dari dua kitab undang-undang yang berbeda:

  • Hukum Perikatan (KUH Perdata): Hakim harus menilai apakah Cessie-nya sah, apakah debitur sudah menerima notifikasi yang diwajibkan Pasal 613, dan apakah ada unsur wanprestasi dalam perjanjian utang piutang lama.

  • Hukum Kebendaan/Pertanahan (UUHT): Hakim juga harus menilai status Hak Tanggungan yang melekat, keabsahan Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT), dan prosedur pendaftaran Hak Tanggungan yang dilakukan oleh kreditur lama.

Satu dokumen cacat di salah satu lini bisa membatalkan keseluruhan klaim. Misalnya, jika notifikasi Cessie dianggap tidak sah (gagal di lini KUH Perdata), maka cessionaris otomatis tidak punya hak menuntut eksekusi tanah, meskipun Akta Cessie-nya dibuat oleh Notaris (sah di lini administrasi).

3. Eksekusi yang Sulit dan Membutuhkan Penetapan Tambahan

Kreditur baru (cessionaris) tidak bisa serta merta membawa palu eksekusi dan mengambil tanah begitu saja, meskipun mereka memenangkan gugatan Cessie. Seringkali, sengketa berlanjut ke tahap:

  • Gugatan Pembatalan Eksekusi: Debitur akan melakukan perlawanan (gugatan verzet) terhadap rencana eksekusi yang diajukan cessionaris.

  • Permohonan Penetapan Pengadilan: Seperti yang dijelaskan sebelumnya, untuk urusan administratif di BPN (khususnya balik nama sertifikat), cessionaris harus kembali ke pengadilan untuk mengajukan Permohonan Penetapan (Pasal 621 KUH Perdata). Tanpa penetapan ini, BPN cenderung menolak pemrosesan.

Artinya, memenangkan satu sidang sengketa Cessie belum menjamin selesainya masalah. Ini seperti lari maraton yang harus dilalui dengan beberapa kali checkpoint hukum.

Anda sudah membaca artikel ini, dan mungkin sekarang kepala Anda mulai cenat-cenut memikirkan Pasal 613, UUHT, BPN, dan berbagai asas hukum. Wajar. Hukum itu memang terkadang didesain untuk membuat pusing, apalagi jika menyangkut tumpang tindih antara utang, hak tagih, dan sertifikat tanah yang berharga.

Tapi, Anda tidak perlu khawatir dan stres berlebihan. Di sinilah kami, Olde Law Firm, hadir untuk mengambil alih beban Anda. Kami punya tim jurnalis yang piawai membuat artikel yang mencerahkan, dan tentu saja, tim pengacara yang jauh lebih piawai membongkar dan menyelesaikan sengketa hukum paling pelik.

Kami akan menyusun strategi litigasi terbaik, memastikan setiap langkah hukum Anda akurat, dan mengawal Anda hingga hak Anda atas tanah kembali pulih atau terlindungi. Kami memahami betul bahwa hidup bukan hanya tentang gugatan dan sidang.

Maka dari itu, saran terbaik dari kami: Jangan pusing-pusing mengurus sengketa tanah, biarkan kami yang pusing memikirkan urusan Anda, Anda hanya perlu bersantai dan menjalani kehidupan. Hubungi Olde Law Firm hari ini. Biarkan kami yang berkerut dahi, agar Anda bisa tersenyum lega.