ROYALTI MUSIK DI ERA DIGITAL: KEWAJIBAN PEMBAYARAN KE PENCIPTA LAGU, MUSISI ATAU KE LMKN?

by

OLDE LAW FIRM

8/21/2025

Pernah dengerin music favorit lewat streaming HP atau diputar waktu lagi nongkrong di cafe?

Nah akhir-akhir ini, musik jadi topik kontroversi yang lagi panas-panasnya dibahas. Mulai dari musik Nasional sampai musik lokal yang dibawakan oleh band-band kecil.

Ada yang bilang, mekanisme pembayaran royalti ini memberikan angin segar untuk para musisi, tapi ada yang bilang juga aturan yang masih ‘anak kemarin sore’ ini memberatkan banyak pihak yang tidak berkaitan. Mulai dari cafe hingga hotel pun ikut kena imbas dari aturan pembayaran royalti ini.

Padahal kalau cafe kan pemutaran musik sudah melalui media sosial Spotify atau Youtube yang notabene-nya si Artis juga dapat royalti dari media sosial tersebut, lalu kenapa cafe dan hotel masih diminta pembayaran royalti?

Tapi pembayaran royalti ini juga merupakan hal yang krusial untuk para artis. Sudah susah-susah nyiptain lagu, tapi gak dibayar saat lagunya dibawakan oleh orang lain. Rasanya kurang adil untuk para artis.

Jadi sebenarnya, bagaimana sebaiknya aturan ini disikapi oleh masyarakat khususnya para musisi lokal?

Merujuk pada aturan dasar tentang Hak Cipta lagu di Indonesia yakni Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta yaitu Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. sedangkan ciptaan adalah hasil karya cipta di bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra yang dihasilkan atas inspirasi, kemampuan, pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan, atau keahlian yang diekspresikan dalam bentuk nyata.

Serta Peraturan Pemerintah yang mengatur pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021. Yang menjelaskan bentuk penggunaan layanan publik bersifat komersial dalam bentuk analog dan digital atas hak ekonomi pencipta/pemegang hak cipta, pelaku pertunjukan dan produser rekaman.

Serupa namanya, lisensi live event merupakan lisensi yang diperuntukkan bagi penyelenggara acara yang akan menggunakan musik anggotanya.

Sementara lisensi digital merupakan izin penggunaan musik di ranah digital, seperti media sosial.

Sedangkan, lisensi general diberikan kepada pengelola tempat usaha seperti restoran, pusat perbelanjaan, kantor, hotel, dan transportasi publik.

Kemanakah royalti atas pemanfaatan suatu lagu dibayarkan?

Saat ini, telah dibentuk Lembaga Manajemen Kolektif Nasional atau LMKN yaitu lembaga yang diberi kewenangan atribusi untuk menarik, menghimpun, dan mendistribusikan royalti musik dan/atau lagu yang dimanfaatkan oleh pengguna dalam bentuk layanan publik yang bersifat komersial.

Sehingga, pada dasarnya pembayaran royalti kepada pencipta, pemegang hak cipta, dan/atau pemilik hak terkait untuk dapat menggunakan lagu dan/atau musik secara komersial dapat dilakukan melalui LMKN (Lembaga Manajemen Kolektif Nasional).

Pembayaran royalti ini juga bertujuan untuk mendukung para kreator agar tetap bisa berkarya dalam industri musik dan terus mengembangkan dunia musik.

Lalu, mengapa teuku adifitrian atau musisi yang kerap dipanggil tompi ini memutuskan keluar dari WAMI (Wahana Musik Indonesia) yang merupakan organisasi dibawah naungan LMKN (Lembaga Manajemen Kolektif Nasional)?

Melalui Postingan Instagram Musisi Tompi menyampaikan bahwa dirinya belum pernah puas dan jelas dengan jawaban dari semua yang pernah ditanyainya.

Nampaknya, sejumlah musisi menilai sistem distribusi royalti di Indonesia belum optimal dan memicu keraguan dari para musisi maupun pencipta lagu.

Demikianlah pembahasan singkat mengenai polemik seputar mekanisme pembayaran royalti musik di Indonesia. Di satu sisi, sistem ini penting sebagai bentuk penghargaan dan perlindungan Hak Cipta bagi para musisi dan pencipta lagu. Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 dan PP No. 56 Tahun 2021 menegaskan bahwa pemanfaatan musik untuk kepentingan komersial—baik secara digital maupun langsung—harus disertai dengan pembayaran royalti melalui lembaga resmi seperti LMKN (Lembaga Manajemen Kolektif Nasional).

Namun, implementasinya masih menuai pro dan kontra. Banyak pelaku usaha seperti kafe dan hotel merasa terbebani karena mereka sudah memutar lagu melalui platform legal seperti Spotify atau Youtube, yang juga telah membayar royalti ke pencipta. Sementara itu, beberapa musisi, seperti Tompi, menyatakan kekecewaan terhadap transparansi dan kejelasan sistem distribusi royalti di Indonesia, bahkan memutuskan keluar dari lembaga seperti WAMI karena merasa tidak puas.

Dengan demikian, meskipun regulasi royalti bertujuan melindungi hak para kreator, sistem pengelolaan dan distribusinya masih perlu pembenahan agar lebih transparan, adil, dan tidak membebani pihak-pihak yang tidak seharusnya terkena dampaknya. Dukungan terhadap musisi lokal tetap penting, namun harus disertai sistem yang akuntabel dan berpihak pada semua pihak secara proporsional.

Jika Anda menghadapi permasalahan terkait Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) atau Hak Cipta, jangan ragu untuk mencari bantuan profesional. OLDE LAW FIRM hadir dengan Tim Advokat yang memiliki keahlian mendalam dan rekam jejak terbukti dalam menangani berbagai kasus HAKI dan Hak Cipta. Kami siap memberikan solusi hukum terbaik untuk melindungi Karya dan Aset Intelektual Anda.